Senin, 29 September 2008

Karnaen: Pemurnian Pembiayaan Murabahah

Dari sejak awal perkembangan perbankan syariah di Indonesia, dari sisi pembiayaan, akad murabahah lebih mendominasi pembiayaan tersebut. Semestinya, pembiayaan dengan akad mudharabah dan akad musyarakah harus lebih banyak. Karena pada akad inilah karakteristik dasar perbankan syariah terbentuk. Kedua akad tersebut merupakan akad dengan sistem bagi hasil. Perbankan syariah dengan sistem bagi hasil inilah yang menjadi pembeda dengan bank konvensional.

Produk pembiayaan dengan sistem bagi hasil seolah-olah tidak berdaya untuk menjadi pendamping operasional perbankan syariah. Sehingga pembiayaan dengan sistem jual beli menjadi pengganti sebagai produk inti dari beroperasinya bank syariah, seperti murabahah, salam dan istishna. Tercatat dalam data statistik Bank Indonesia bulan Maret tahun 2008, pembiayaan murabahah masih tetap menjadi unggulan perbankan syariah. Meskipun sudah mulai mengalami penurunan tiap bulannya. Persentase pembiayaan jual beli dengan akad murabahah masih dominan, bulan maret mencapai 57,30 persen dan untuk piutang salam sebesar 1,23 persen.

Fenomena dari dominasi pembiayaan murabahah sebenarnya tidak hanya terjadi pada perbankan syari’ah di Indonesia saja, umum terjadi pada keseluruhan bank syari’ah di dunia. Sejak awal tahun 1984 pembiayaan model murabahah di Pakistan mencapai sekitar 87 persen dari total pembiayaan dalam investasi deposito profit and loss sharing. Di Dubai Islamic Bank, bank terawal disektor swasta, pembiayaan murabahah mencapai 82 persen dari total pembiayaan selama tahun 1989. Bahkan di Islamic Development Bank (IDB), selama kurang lebih 10 tahun periode pembiayaan 73 persen dari seluruh pembiayaan adalah akad murabahah, yaitu dalam bentuk pembiayaan dagang luar negeri.

Ada sejumlah alasan kenapa murabahah begitu populer dalam operasi investasi perbankan syari’ah. Menurut Usmani (2003), pertama, murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan profit and loss sharing cukup memudahkan; kedua, mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan demikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam; ketiga, murabahah menjauhkan dari ketidakpastian yang ada pada pendapatan bisnis-bisnis dengan sistem profit and loss sharing; keempat, murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan hutang-piutang dagang.

Dengan pergeseran posisi utama atas pembiayaan dengan basis bagi hasil yang digantikan oleh pembiayaan dengan basis jual beli, berdasarkan laporan data dari Bank Indonesia, setidaknya ada empat faktor yang menjadi sebab atas rendahnya pembiayaan berbasis bagi hasil, yaitu: pertama, risiko investasi relatif tinggi karena sulitnya memonitor kegiatan investasi; kedua, masalah principal-agent, dimana agen (mudharib) tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan principal-agent, dimana agen (mudharib) tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal (shahibul maal); keempat, kompetensi sumber daya manusia perbankan syari’ah yang masih rendah untuk melakukan investasi pola bagi hasil; dan kelima, ketidaktersediaan informasi kinerja bisnis yang mendalam untuk setiap sektor industri yang menjadi target investasi.

Meskipun demikian, hal ini tidak menjadi persoalan inti dari besarnya pembiayaan murabahah. Sah-sah saja bank syariah lebih memperbanyak pembiayaan murabahah. Karena murabahah relatif lebih mudah dan lebih tidak berisiko dibanding dengan pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Begitupun umumnya paradigma masyarakat masih terpola seperti halnya bank konvensional yang menyalurkan pembiayaan kredit. Masyarakat masih belum terbiasa dengan pola bagi hasil pada bank syariah. Pada pembiayaan murabahah bank syariah harus bisa menjelaskan bagaimana mereka mengambil margin keuntungan. Hal ini yang menjadi permasalahan bagaimana bank syariah sebenarnya dalam mengambil margin keuntungan ini.

Perhitungan Margin Murabahah

Pembiayaan murabahah pada bank syariah umum terjadi dalam prakteknya merupakan jual beli ulang antara bank dan nasabah dengan menggunakan sistem beli dengan pembayaran tangguh, dan pengambilan margin merupakan keuntungan yang diperoleh bank. Penetapan margin keuntungan pada bank syariah merupakan selisih antara pembelian dan penjualan atas suatu barang yang diambil berdasarkan besaran pembiayaan yang telah dikeluarkan bank.

Bank-bank syariah dalam perhitungan margin keuntungan bersifat tetap (Flat), yang tidak akan terjadi perubahan harga, baik dalam kondisi ekonomi yang stabil ataupun tidak stabil, dan berlaku sejak akad pembiayaan ditandatangani antara pihak nasabah dengan pihak bank hingga masa jatuh tempo dari waktu pembiayaan.

Penetapan margin keuntungan bagi bank syariah tentunya banyak faktor yang akan menjadi pertimbangan bank dalam menentukan besaran margin yang harus dibebankan pada suatu pembiayaan. Tampaknya dalam pembiayaan murabahah, faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan margin adalah kebutuhan bank syariah untuk memperoleh keuntungan riil, inflasi, suku bunga berjalan, kebijakan moneter, bahkan suku bunga luar negeri, serta marketabilitas barang-barang murabahah, dan tidak terlepas dari itu adalah tingkat laba yang diharapkan dari barang-barang tersebut.

Kalau melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan margin tersebut tidak berbeda dengan penetapan suku bunga pada bank konvensional. Bank konvensional dalam mengambil suku bunga bank ditetapkan berdasarkan faktor kebutuhan bank untuk mendapatkan keuntungan riil, demikian pula tergantung pada inflasi, ketidakpastian tingkat inflasi di masa datang, preferensi likuiditas serta permintaan akan pinjaman, kebijakan moneter, dan suku bunga luar negeri.

Pembuktian atas kesamaan penentuan margin dengan penentuan bunga telah dilakukan oleh Budi Asmita (2004) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan margin murabahah antara Januari 2001 sampai dengan Desember 2003. hasil penelitian membuktikan bahwa ada tiga variabel yang signifikan mempengaruhi penentuan margin murabahah yaitu biaya overhead, cost of loanable fund dan profit target. Dari hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa penentuan margin murabahah Bank Syariah mirip dengan penentuan tingkat kredit Bank Konvensional. Ketiga variabel tersebut merupakan aspek penentu bagi bank konvensional untuk mengambil tingkat bunga yang akan dibebankan pada suatu pinjaman. Biaya overhead meliputi biaya tenaga kerja, biaya administrasi dan umum, biaya penyusutan, biaya pencadangan penghapusan aktiva produktif, dan biaya lainnya yang terkait dengan operasional bank. Profit target mempertimbangkan tingkat inflasi, tingkat suku bunga pasar, premi risiko, spread, cadangan piutang tertagih.

Sebanding dengan yang telah dilakukan oleh Herdiyanto (2004) dalam penelitiannya mengenai Mekanisme Transmisi Syariah di Indonesia, mendapatkan kenyataan bahwa suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) secara signifikan mempengaruhi terhadap tingkat pembiayaan di bank syariah. Pembiayaan pada bank syariah di dominasi oleh pembiayaan murabahah, dalam hal ini, sesuai dengan penelitian Herdiyanto dapat dijadikan indikasi bahwa suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) berpengaruh terhadap pembiayaan murabahah, lebih khusus pada penetapan margin keuntungan dari pembiayaan murabahah tersebut.

Herdiyanto dalam penelitiannya, secara utuh dapat menunjukkan bahwa mekanisme transmisi syariah melibatkan alur tingkat suku bunga SBI satu bulan sebagai pemicu dari perubahan tingkat bunga pasar uang (PUAB) dan terus berlanjut kepada perubahan pangsa pasar pembiayaan syariah.

Analisis pengaruh suku bunga terhadap pembiayaan pada bank syariah juga dilakukan Herdiyanto dengan melihat perilaku peminjam pada sisi syariah dan konvensional disertai tren yang serupa di sisi syariah. Menurutnya hal ini merupakan refleksi dari konsumen perbankan di Indonesia yang belum mengetahui subtansi dari produk bank syariah. Akibatnya perubahan dari nilai suku bunga mempunyai pengaruh yang positif kepada pinjaman syariah. Konsekuensi dari fenomena tersebut adalah di saat kebijakan moneter dalam keadaan ketat (tight money policy) calon peminjam akan membatalkan pinjamannya (tidak ada proses subtitusi dari sisi konvensional menuju syariah). Dengan kata lain tidak terjadi mekanisme subtitusi antara produk pinjaman sistem konvensional dengan sistem syariah.

Pemurnian Perhitungan Margin Murabahah

Hasil penelitian Bank Indonesia menemukan bahwa masih banyak diantara bank-bank syariah dalam menentukan tingkat margin murabahah menggunakan perhitungan bunga secara flat. Sehingga, margin murabahah tersebut dalam penjumlahannya akan lebih mahal daripada bunga bank konvensional, atau minimal sama dengan bunga bank konvensional. Selanjutnya untuk menentukan margin murabahah tersebut bank syariah masih memasukkan bonus giro, bagi hasil tabungan dan deposito merupakan Cost of Fund, akibatnya margin murabahah yang diambil oleh bank syariah akan lebih mahal atau sama dengan bunga pinjaman.

Maka wajar sekiranya masyarakat umum seringkali masih mempertanyakan bank syariah. Tidak sedikit dari mereka yang menganggap bahwa bank syariah sebenarnya bank konvensional yang dapat label syariah. Jika hal ini dibiarkan terus akibatnya reputasi bank syariah akan jatuh, dan masyarakat tidak percaya lagi dengan bank syariah, toh sama saja dengan bank konvensional.

Untuk itu, sekiranya hal di atas masih dilaksanakan oleh bank syariah, maka perlu langkah pemurnian untuk menyelamatkan bank syariah. Bank syariah mestinya melakukan penetapan margin dengan benar, baik pembiayaan murabahah, salam, dan istishna. Seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Pada saat melakukan perdagangan Rasulullah secara transparan mengungkapkan berapa harga beli barang tersebut, kemudian biaya yang harus ditanggung dalam proses perdagangan tersebut, dan jumlah keuntungan yang diambilnya.

Dalam perdagangan yang dilakukan Rasulullah sangat jelas sekali mengedapankan aspek kejujuran, transparansi, dan amanah (bertanggung jawab). Dan Rasulullah selalu mempermudah di saat membeli, menjual dan membayar dalam perdagangan tersebut. Hal ini merupakan adab Rasulullah di saat melakukan perdagangan. Sehingga contoh suritauladan ini sangat ironis sekiranya ditinggalkan. Tidak hanya dalam perekonomian klasik (tradisional), mestinya perekonomian modern-pun dapat mengejawantahkan contoh perilaku Rasulullah tersebut, tidak terkecuali perbankan syariah.

Penetapan margin murabahah dengan mencontoh perdagangan yang dilakukan Rasulullah dapat ditentukan dengan :

  1. Unsur harga beli dari supplier/pemasok/dealer/agent;
  2. Unsur biaya yang harus diperoleh kembali (cost of recovery), yang diperhitungkan dari [a] biaya perolehan, dibagi [b] jumlah barang yang dijual;
  3. Unsur keuntungan yang dapat diterima pasar (negotiable).

Formula:

Harga jual = Harga Beli + Biaya Perolehan + Keuntungan

Jumlah Barang

Dari formula tersebut bisa dijelaskan bahwa:

1. Harga jual merupakan fungsi dari harga beli di tambah dengan biaya perolehan di bagi dengan jumlah barang dan ditambah dengan keuntungan yang wajar yang dapat diterima pasar.

2. Harga beli barang akan relatif lebih murah apabila didapatkan langsung dari produsen atau sole agen.

3. Hasil bagi dari biaya perolehan dan jumlah barang akan relatif rendah apabila biaya perolehan dilakukan dengan efisien dan dalam jumlah banyak.

4. Keuntungan akan relatif rendah apabila hasil bagi dari butir 3 tinggi, dan relatif tinggi apabila hasil bagi dari butir 3 rendah.