Senin, 29 September 2008

Paulus Rusli: “Otoritas Pemerintah di Pengawasan”


Jakarta (24/9). Agar tidak ada ego sektoral antara peran pemerintah dan MUI, Sekretaris Jenderal, Asosiasi Produk Makanan Halal, Paulus Rusli, meminta pemerintah untuk memposisikan sebagai pengawasan. Terkait dengan hal itu departemen agama bisa berkerjasama dengan pihak kepolisian jika ada pelaku perusahaan memalsukan sertifikasi halal. Sedangkan posisi MUI tetap utuh sebagai pengeluar sertifikasi halal. Sebab ranah fatwa dan audit tetap dalam integrasi MUI.

Mengapa Sekjen Asosiasi Produk Makanan Halal beralasan demikian? Untuk mengetahui alasannya, Agus Yuliawan dari pkesinteraktif.com, menemuainya disela-sela acara dengan pendapat (hearing) antara panitia kerja komisi VIII DPR-RI dengan berbagai Asosiasi pengusaha produk makanan dan minuman, kemarin di Gedung DPR-RI Senayan Jakarta. Berikut petikan komentarnya

Selama ini dalam perspektif pengusaha sendiri semacam apa mengenai sertifikasi halal?

Kalau mau tahu kesadaran tentangg halal bukan hanya pada umat Islam sendiri tapi itu sudah menglobal dan menjadi kebutuhan pasar.

Apa komentar Anda dengan maraknya para pengusaha yang masih enggan mengajukan sertifikasi halal dan memalsukan logo halal pada produknya?

Tidak mendapatkan sertifikasi halal dari MUI tapi mencantumkan logo halal—itu namanya kriminal dan itu bisa diproses secara hukum. Sebenarnya kalau mau jernih. janganlah kita hanya melihat yang belum tentu salah, artinya perlunya pembinaan bagi perusahaan tersebut untuk benar-benar menjadi halal.

Apakah perlu MUI mengeluarkan logo haram pada perusahaan tersebut?

Kalau perusahaan tersebut mendapat logo haram sangat sulit sekali perusahaan tersebut untuk diterima oleh masyarakat meskipun sudah memperoleh logo halal. MUI sendiri dalam perannya selama ini khan menfatwakan halal bukan menfatwakan haram. Jadi semua yang belum difatwakan oleh MUI dianggap masih haram dan belum halal. Waktu MUI memutuskan halal, keputusan itu yang harus kami pegang. Lantas bagaimana pengenjewantahan fatwa tersebut? Saya rasa kalau di komisi fatwa bisa selesai, tapi jika tidak dipublikasikan fatwa tersebut tidak ketahuan oleh masyarakat. Lantas bagaimana mempublikasikannaya? Yaitu jika perusahaan sudah disertifikasi maka diberi logo halal.

Bagaimana peran pemerintah dalam mengawal sertifikasi halal ini?

Saya rasa untuk peran pemerintah silahkan masuk dalam pengawasan. Seperti jika ada pengusaha yang memalsukan logo halal tersebut segera ditindak dengan tegas.

Artinya pemerintah dalam draf Rancangan Undang Undang (RUU) Sistem Jaminan Halal tak perlu mengambil alih peran posisi MUI?

Saya rasa dalam pembahasan RUU ini—hanya mengulang saja peran yang dilakukan oleh komisi fatwa MUI dan Lembaga Penelitian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI mau diambil alih oleh pemerintah. Stepnya dalam RUU ini kalau kita baca—pemerintah tak mau berpolemik dengan MUI dengan cara tetap memasukkan peran komisi fatwa dan LPPOM, namun dalam masalah sertifikasi dan stempel logo halal bukan MUI tapi pemerintah. Saya rasa hal ini bagi para pengusaha dirasakan mubadzir saja.

Jika RUU SJH jadi dan pemerintah tetap ngotot sebagai pengeluar sertifikasi halal, berarti sangat memberatkan bagi pengusaha?

Saya tidak bilang memberatkan, yang jelas didalam industri segala sesuatu efesiensi semua step yang tidak ada nilai tambahnya itu harus dibuang atau dipotong, karena itu menjadi beben. Biarpun kecil dikalikan sekian akan tidak efesien. Itu yang menurut saya mubadzir jika dilakukan oleh pemerintah.

Bagaimana dengan service sertifikasi yang dilakukan oleh MUI apakah selama ini memberatkan?

Kalau dengan MUI mulai dari pelayanan hingga harga sertifikasi saya rasa sangat lumrah sekali. Selama ini antara pengusaha dengan MUI tidak ada masalah dan MUI berkerja sangat baik dari tahun ke tahun dan jika ada beberapa kekuarangan-kekurangan bisa dilakukan perbaikan.

Apakah ada unsur politis itulah yang ditakutkan oleh pengusaha jika otoritas itu dipegang oleh pemerintah?

Itulah yang saya takutkan. Kadang-kadang kalau pengusaha guram lebih senang jika masuk dalam departemen pemerintah karena disitu bisa main asalkan tidak ketahuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kalau yang tahu justru akan lebih sulit jika otoritasnya dipegang oleh pemerintah, seberapa jauh kesulitannya dari kami belum ada bayangan.

Menurut Anda apa sebenarnya kemauan pemerintah Indonesia. Apakah pemerintah ingin mengikuti pemerintahan Malaysia?

Tapi yang dilakukan oleh pemerintah lebih mendukung apa yang sudah dijalankan oleh Jabatan Kemaslakatan Islam Malaysia (JAKIM), bukan mengambil alih peran yang dilakukan oleh JAKIM. Pemerintah Malaysia lebih ikut dalam mempublikasikan kehalalan produk makanan sesuai dengan syariah Islam, bukan proses sertifikasinya yang selama ini masuk dalam ranah ulama.

Agar tidak ada ego sektoral antara peran pemerintah dan MUI, dimanakah posisi mereka?

Pemerintah harus memposisikan sebagai pengawasan disitulah ada unsur pidana bagi para pengusaha yang berbuat krimimal dalam memalsukan sertifikasi halal. Terkait dengan hal ini Departemen Agama bisa berkerjasama dengan pihak kepolisian. Selain itu registrasi dan sosialisasi, karena apa? Tanpa dukungan pemerintah dalam sosialisasi sangat kecil sekali masyarakat memahami pentingnya sertifikasi halal bagi perusahaan makanan, obat-obatan dan kosmetika.

Jadi Anda tetap meminta dalam RUU SJH ini peran MUI tetap melakukan sertifikasi?

Ya saya setuju dan jangan sampai ranah ulama diambil oleh pemerintah.

Tidak ada komentar: